Nusakambangan Jadi Solusi: 100 Napi Narkoba Dipindah karena Ulah Berulang
Pulau Nusakambangan kembali menjadi sorotan setelah Kementerian Hukum dan HAM memindahkan 100 narapidana kasus narkoba ke lembaga pemasyarakatan (lapas) dengan keamanan maksimum di pulau tersebut. Pemindahan ini bukan tanpa alasan—para narapidana tersebut diketahui sering membuat kericuhan, menyalahgunakan fasilitas, hingga terlibat dalam jaringan peredaran narkoba dari balik jeruji.
Napi Narkoba dan Masalah yang Tak Kunjung Usai
Dalam beberapa tahun terakhir, kasus peredaran narkoba di dalam lapas menjadi isu serius di Indonesia. Tak sedikit dari napi yang justru menjalankan bisnis gelapnya dari balik penjara, bahkan berkoordinasi dengan jaringan di luar. Aktivitas ilegal ini sering kali melibatkan alat komunikasi selundupan, aparat yang lalai, serta lemahnya sistem pengawasan di beberapa lapas.
Menurut sumber dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 100 napi yang dipindahkan ini adalah narapidana “bermasalah”, dengan catatan pelanggaran berulang, termasuk menghasut kerusuhan, menyelundupkan barang terlarang, hingga menyuap petugas.
Mengapa Nusakambangan?
Pulau Nusakambangan dikenal sebagai “Alcatraz-nya Indonesia”—tempat berbagai lapas dengan sistem keamanan tinggi berada. Dikelilingi laut dan dijaga ketat, akses ke dan dari pulau ini sangat terbatas. Hal inilah yang membuat Nusakambangan dianggap sebagai lokasi ideal untuk mengisolasi napi dengan tingkat risiko tinggi, termasuk bandar narkoba kelas kakap.
Pemindahan ini dilakukan secara bertahap dan dijaga ketat oleh petugas gabungan dari Lapas, Polri, dan TNI. Tidak ada informasi detail yang dibuka ke publik demi alasan keamanan. Namun, Dirjen PAS memastikan bahwa napi yang dipindahkan akan ditempatkan di lapas dengan sistem pengawasan 24 jam dan minim interaksi sosial, guna mencegah pengaruh negatif terhadap napi lain.
Langkah Tegas, Tapi Efektifkah?
Pemerintah menegaskan bahwa pemindahan ini bukan bentuk hukuman semata, tetapi bagian dari strategi pemasyarakatan yang lebih ketat dan terkendali. Di sisi lain, sejumlah pengamat menilai bahwa pemindahan hanyalah solusi jangka pendek, jika tidak dibarengi dengan pembenahan sistem dari dalam—terutama soal integritas petugas, pengawasan digital, dan rehabilitasi napi.
“Nusakambangan bisa menekan ruang gerak napi bandel, tapi akar masalahnya adalah tata kelola lapas secara menyeluruh,” ujar seorang kriminolog dari Universitas Indonesia.
Rehabilitasi atau Pengetatan?
Kementerian Hukum dan HAM juga menyampaikan bahwa, meski dipindahkan ke Nusakambangan, napi tetap memiliki hak dasar, termasuk mengikuti program pembinaan dan rehabilitasi. Namun, skema ini akan diatur ketat agar tidak membuka celah penyalahgunaan.
Dalam beberapa lapas khusus narkotika, program rehabilitasi medis dan sosial sudah dijalankan. Sayangnya, jika tidak diawasi, program ini kerap menjadi ajang “kamar istimewa” atau akses istimewa bagi napi tertentu. Inilah yang ingin dihindari di Nusakambangan.
Tegas, Tapi Tetap Manusiawi
Pemindahan 100 napi narkoba ke Nusakambangan menjadi langkah tegas pemerintah dalam menanggulangi peredaran narkoba dari balik penjara. Namun, langkah ini tidak boleh berhenti di pemindahan fisik semata. Evaluasi menyeluruh terhadap sistem pemasyarakatan, integritas aparat, dan efektivitas rehabilitasi tetap menjadi pekerjaan rumah jangka panjang.
Jika Nusakambangan bisa menjadi titik balik pembenahan sistem, maka mungkin ke depan, kita tidak lagi mendengar kasus “bandar narkoba kendalikan bisnis dari dalam sel”. Tetapi jika tidak, pulau itu hanya akan jadi tempat singgah sementara bagi para pelanggar yang sudah terlalu kebal hukum.